Mana Telingaku
Ajal itu memang tidak bisa dimajukan dan juga tidak bisa diundur. Sesuatu yang sifatnya pasti dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Begitu yang dialami dengan yu prih, lebih dari sepuluh tahun menabung untuk bisa beli sepeda motor, akhirnya terbeli dan sepeda motor itu pula yang membawanya menghadap Allah SWT.
Sebagai karyawan pabrik, tentu berat bagi yu prih untuk bisa memiliki sepeda motor. Bertahun-tahun dia dan suaminya kang parjan menabung, namun karena kebutuhan rumah tangganya begitu banyak, bukannya terkumpul tapi lebih banyak tabungannya habis untuk kebutuhan sehari-hari. Maka ketika ada orang yang menawar tanahnya yang hanya sepetaknya yu prih dengan girang hati memberikannya. Tanpa perlu negosiasi yang lama, tanah itu sudah berganti dengan tumpukan uang yang cukup untuk membawanya ke dealer sepeda motor. Sebuah sepeda motor matic dengan warna ngejreng, akhirnya bisa terparkir manis didepan teras rumahnya.
Hampir tiap hari kang parjan melatihnya, setelah seminggu lebih bergulat dengan motor baru, yu prih dinyatakan lulus. Meskipun masih belum terampil benar, yu prih sudah berani mengemudikan motor itu kemana-mana. Seperti orang mabuk duren (durian) itulah yang dialami yu prih, tidak siang tidak malam motor itu selalu dinaikinya, bahkan boleh dibilang tidak pernah berhenti. Sampai-sampai beli cabe kriting di warungnya mbak wal saja (yang jaraknya cuma 25 meter) yu prih menggunakan motornya itu. Semua maklum dan semua ikut senang, termasuk aku tetangga dekatnya.
Sebetulnya kang parjan masih merasa gamang melepaskan isterinya naik motor setiap pergi dan pulang ke pekerjaannya, bukan karena apa-apa, melainkan yu prih belum begitu mahir, baik dari sisi kesimbangan, kelunturan serta refleknya masih labil. Dirinya masih sering grogi bila berpapasan dengan mobil atau motor yang lain. Serba tanggung dan sedikit membahayakan, begitu analisis kang parjan terhadap perilaku mengemudi motor isterinya. Apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan (memang kadang-kadang kekawatiran kita terhadap sesuatu bisa menjadi doa yang dikabulkan) Sore itu yu prih keluar pabrik dengan agak kencang mengendarai motornya, dekat dengan warungnya babah liong almarhum tiba-tiba disapa oleh “jeng” sri teman mainnya waktu kecil. Yu prih jadi lupa kalau saat itu masih mengendarai motor, tangannya melambai sambil tidak lupa berkata-kata s’daaag…daggg” mirip bintang-bintang sinetron itu. Akibatnya fatal, sepeda motornya oleng. Bersamaan dengan itu dari arah depan ada sebuah truk pengangkut pasir yang melintas dengan cepat. Tabrakan tidak bisa dihindarkan, yu prih jatuh. Kepalanya persis ada dibawah truk yang beratnya 40 ton, sepedanya hancur, begitu pula dengan tubuh bagian atasnya. Mendengar berita itu, kang parjan hanya bisa menangis, meraung-raung begitu juga dengan kedua anaknnya. Menyesali keputusannya.
Perempatan itu memang nggegirisi, seram dan agak angker. Berulang kali menjadi tempat berpulangnya jasad manusia kehadlirat Allah SWT. Tercatat sudah lebih dari 12 nyawa yang merenggang di jalan itu. Termasuk PKD dan juga yu prih. Dari pak paino pengemudi becak yang biasa mangkal disitu mengatakan, perempatan itu memang sering dipasangi “lebon”, hampir tiap malam jumat wage mesti ada sesorang yang menyebari kembang tiga warna, dan perangkat lain yang terbungkus kain mori putih. Entah benar atau tidak info itu, yang jelas dari 12 korban meninggal, rata-rata usianya masih dibawah 40 tahun. Usia yang masih sangat produktif.
Sehari setelah dikuburkan, muncul desas desus yang menyebar dengan cepat, katanya kang paino pernah menjumpai sosok yang persis almarhumah yu prih, sosok itu berdiri dibawah pohon asem besar, wajahnya kelihatan bingung dan seperti sedang mencari sesuatu disitu. Berkali-kali perempuan itu jongkok, dan kemudian berdiri dengan bingung, setelah itu menangis dengan nada yang menyayat hati. Melihat itu kang paino memberanikan diri untuk menghampirinya, dia sama sekali tidak berfikir kalau malam itu dia berhadapan dengan arwah yu prih. “madosi nopo mbak, kok kados bingung? (mencari apa mbak, kok kelihatannya bingung)” perempuan itu diam saja, wajahnya dipalingkan seperti takut dikenali. “madosi kuping kulo sing sisih? (mencari telinga saya yang satunya)” katanya pelan. “Nopo mbak, anting-anting? (apa mbak anting-anting) “ kata kang paino agak bingung takut salah dengar. “madosi kuping kulo (mencari kuping saya)” kata perempuan itu lagi. Kang paino kaget, apalagi setelah perempuan itu berpaling menghadapnya, wajahnya persis yu prih cuma hancur sebelah. “kaget yo kang, iki aku….prih( kaget ya..mas ini aku …prih)” katanya lirih yang disambung dengan ketawanya yang khas melengking tinggi, tentu saja kang paino jadi kaget dan segera berlari meninggalkan sosok yang menyerupai yu prih itu. “tolongggggg….tolongggggggggg yu prih…yu prihhhh” serunya sambil nubrak nubruk kesana kemari. Tentu saja, kami yang masih melekan dirumah kang parjan kaget. Dengan sigap mas marsudi langsung memegang tangan kang paino, “ono opo kang (ada apa kang)” dengan terbata-bata disertai dengan mimik yang pucat ketakutan, kang paino bercerita bahwa dia baru saja ditemui yu prih yang katanya sedang mencari telinganya yang sebelah. Berita ini tentu mengagetkan kami, terutama bagi kang parjan. Dengan mata merah dan emosi tinggi langsung meraih leher baju kang paino “ojok gawe ontran-ontran yang tidak benar (jangan membuat berita yang tidak-tidak)” katanya dengan nada tinggi. “bener kang….bener, aku ndak goroh (benar kang benar aku tidak bohong)” kata kang paino dengan nada memelas. Kang Parjan langsung menurunkan tangannya, badannya lemas dan jatuh tertunduk, tangannya yang kekar mengacak-ngacak rambutnya “opo bener mbokne bocah-bocah dadi sukmo nglambrang (apa benar, ibunya anak-anak jadi arwah penasaran)” katanya dengan bahasa yang “angluh”. “wes…wes dik sing sabar yo, kita belum tahu berita yang sebenarnya” kata pak imam sambil mengelus-elus punggungnya. Suasana melekan itu jadi sunyi, ada perasaan takut diantara kami. Kami berlima yakni, ismet, rusdiman, muji dan joko lebih suka duduk berimpitan menjauhi pintu masuk.
Belum sempat reda, tiba-tiba partinah anak terkecil dari kang parjan menjerit dan berlari kearah kang parjan “pak…pak kae simbok mulih (pak-pak ibu pulang)” katanya sambil menunjuk-nunjuk ke dalam kamar tidurnya. Tentu saja kami semua jadi mengkeret, dan sudah pengin beranjak pulang. Namun dengan sigap pak RT menetralisir suasana yang kacau balau itu. “sudah…sudah semuanya tenang, ayo semuanya baca yasin dan tahlil biar almarhumah tenang dialamnya” dengan sigap pak syauki memimpin pembacaan yasin dan tahlil itu, namun belum sempat separu bacaan itu dilafalkan, tiba-tiba lampu mati. Kontan muji yang paling penakut menjerit, kami jadi panik, suasanapun kembali gaduh. Sementara anaknya kang parjan menangis dengan sangat keras. “kang…kang…golekno kupinku kang….(mas…mas carikan telingaku mas) “ tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu masuk. Samar-samar terlihat bayangan putih berdiri lima meter dari arah pintu masuk. Sosoknya tidak jelas, namun dari suaranya kami tahu itu suaranya yu prih. Belum sempat kita bereaksi sosok itu kemudian hilang terbawa angin, hanya bau kemenyan dan juga kembang semboja yang tercium. Setelah itu listrik kembali nyala, wajah-wajah kami jadi aneh, karena satu sama lain ternyata saling berimpit menunjukkan bahwa sebetulnya kami sangat takut, meskipun belum sempat kencing dicelana.
Pak syauki terlihat berbicara dengan pak RT, kami tidak mendengar apa yang dibicarakan diantara mereka berdua, karena kami saling sibuk bercerita keberanian kita masing-masing disaat arwah yu prih pulang tadi. Keberanian yang lucu tentu saja, karena sama sekali tidak tercermin dikegelapan malam tadi. “dik parjan” kata pak RT dengan sedikit keras, kami langsung diam dan memperhatikan apa yang akan disampaikan oleh pak RT. “mungkin kita perlu mendatangi tempat kecelakaan tadi, barang kali memang ada yang tertinggal” “ya pak…mudah-mudahan, supaya ibunya anak-anak tenang”. “baik, bapak-bapak dan adik-adik, mari kita luangkan waktu untuk mencari sesuatu dilokasi kecelakaan kemarin” kata pak RT memberi perintah. Kontan kami berebut keluar, bukan mencari barang itu, tapi berebut untuk segera keluar dari rumah kang parjan dan pulang ke rumah masing-masing. Akhirnya, cuma ada pak syauki, pak sastro, mas kelik ,mas marsudi dan pak RT yang teringgal.Dengan ditemani kang parjan, mereka berlima mendatangi tempat kecelakaan itu. Memang ketika kecelakaan lalulintas itu terjadi, sebagian muka yu prih hancur, terutama sebelah kiri. Malah telinganya hancur dan susah untuk dikumpulkan.
Sampai dilokasi, dengan ditemani lampu petromak bapak-bapak tersebut mencari sesuatu. Ternyata benar, didekat perempatan itu memang ditemukan darah yang sudah kering, dan sedikit daging yang sudah dirubung semut. Serpihan daging itulah mungkin bagian dari telinga yu prih. Dengan tatak kang parjan mengambil ceceran darah dan daging itu, dibungkusnya dengan sapu tangan tangannya bergetar. Isak tangisnya terdengar lirih “ wes prihhhh….kupingmu wes ketemu, leremo nong ngersane gusti yo (sudah..prih potongan telingamu sudah ketemu, semoga kamu tenang dan bisa kembali menghadap Allah SWT dengan tenang)” katanya sendu.
Paginya dengan ditemani pak syauki dan pak imam serpihan daging dan darah kering itu ditanam kembali di makam yu prih. Mereka berdoa dengan khusuk untuk menyempurnakan proses pemakaman jasad yu prih. Malamnya kami kembali mengadakan tahlil dan yasinan, cuma tempatnya tidak di rumah kang parjan tapi dipindah dihalaman pakde harjo, yang memang hanya berjarak 100 meter dari lokasi kecelakaan yang merenggut nyawa yu prih.
Setelah itu, tidak terdengar lagi desas-desus munculnya arwah yu prih. Suasana perempatan itu juga sudah pulih. Dari peristiwa heboh itu kami mengambil hikmah, agar lebih teliti didalam merawat korban kecelakaan, tidak boleh lagi ada anggota badannya yang sampai tertinggal. Agar korban bisa merasa sempurna ketika menghadap kehadlirat Allah SWT. Karena semua anggota tubuh kita itu akan bersaksi dihadapanNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar